• Menegakkan Partisipasi Pemilih, Memperkuat Literasi Politik

image_title
Ket: Aenal Fuad Adam
  • Share

    BUMISULTRA

    KENDARI-Berhasil tidaknya sebuah pemilu selalu diukur dari sejauhmana aktivitas warga negara yang terlibat dalam proses pemilu. Tingginya tingkat partisipasi warga negara dalam memilih menjadi kunci utama keberhasilan sebuah proses pemilu. Namun, bukan sekedar partisipasi yang hendak ingin ditingkatkan, tetapi perlu sebuah rangkaian regresi mendorong aktivitas warga negara dalam proses politik menuju partisipasi yang inklusif terhadap proses pemilu. Lebih penting lagi yaitu bagaimana aktivitas warga negara dalam pemilu akan mewujudkan sebuah sistem politik demokratis menuju pemilu berdaulat dan berkualitas pada akhirnya tegaknya pemerintahan yang kuat.         

    Kemunduran demokrasi

    Salah satu indikator kualitas pemilu ketika meningkatnya aktivitas warga negara dalam proses politik. Keikutsertaan warga negara dalam memilih (voter turnout) menjadi dasar kualitas demokrasi. Aktivitas warga negara dalam memilih adalah bentuk partisipasi dalam proses politik. Sebaliknya, jika tidak ada partisipasi maka demokrasi tidak akan terwujud.

    Perjalanan politik pemilu Indonesia sejak gelombang pertama pilkada serentak di tahun 2015 hingga menuju gelombang kedua pilkada serentak di tahun 2017 menunjukkan tingkat partisipasi pemilih semakin membaik. Gelombang pertama pilkada menunjukkan tingkat partisipasi berada pada angka 70% dan pada gelombang kedua pilkada naik di angka 5% menuju angka 75%.

    Tetapi, yang menarik adalah tingginya tingkat partisipasi pemilih ternyata berkorelasi terhadap meningkatnya praktik pembelian suara (vote buying) dalam proses pemilu. Data gelombang pertama pilkada serentak di tahun 2015 menunjukkan 27 daerah yang ditemukan melakukan praktik politik uang dimana terdapat 13 daerah ditemukan pembagian uang dari salah satu pasangan calon seperti yang terjadi di Kabupaten Kaur (Bengkulu), Gowa (Sulawesi Selatan), Rokan Hulu (Riau), Kepulauan Konawe dan Muna (Sulawesi Tenggara), Semarang (Jawa Tengah), Lampung Selatan, Pesawaran, dan Way Kanan (Lampung). Pada gelombang kedua pilkada serentak di tahun 2017 hasil laporan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) mengungkap 600 temuan politik uang seperti yang terjadi di DKI Jakarta, Provinsi Banten, Kota Kendari dan Provinsi Papua Barat.

    Politik pemilu dari gelombang pertama pilkada serentak menuju gelombang kedua pilkada serentak pada kenyataannya mengarah pada divergensi partisipasi politik yang membentuk dua dimensi aktivitas warga negara dalam pemilu. Dimensi pertama yaitu votern turnout (partisipasi pemilih) dengan parameter meningkatnya aktivitas warga negara memberikan hak suara dalam pemilu. Dimensi kedua yaitu mobilization of voters (mobilisasi pemilih) dengan parameter tingginya aktivitas vote buying (pembelian suara warga negara). Meskipun dua dimensi tersebut pada kenyataannya berkorelasi terhadap political engagement (keterlibatan warga negara dalam politik). Namun menunjukkan akitivitas warga negara dalam politik pemilu yang pada akhirnya mengalami dilema  “ambiguous participation”. Hal ini disebabkan tingginya partisipasi warga negara, semakin tinggi pula vote buying yang dilakukan oleh kandidat calon dalam upaya memobilisasi warga negara untuk memilih. Sehingga terjadi aktivitas ambigu dalam mengukur tingkat partisipasi pemilih, dalam bahasa Surbakti: partisipasi militan radikal yaitu tingginya kesadaran akan hak politik namun rendahnya kepercayaan politik terhadap kandidat politik. 

    Meneguhkan Kesadaran Warga Negara 

    Bila dipandang secara konseptual, Herbert Chomsky menjelaskan partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bersifat voluntaris (sukarela) yang mengambil bagian dalam proses pemilihan pergantian kekuasaan yang pada gilirannya membentuk kebijakan umum. Kaase & Marsh juga berpendapat bahwa partisipasi politik merujuk pada aktivitas warga negara (pemilih) untuk mempengaruhi outcomes (hasil akhir) dari proses politik sesuai dengan prosedur, misalnya pemungutan suara untuk menentukan bakal calon untuk menduduki jabatan politik dan mengikuti kampanye politik. Sementara Verba, Nie & Kim mengukur partisipasi politik dalam empat unsur yaitu pemungutan suara, aktivitas kampanye, aktivitas masyarakat dan menghubungi pejabat publik.

    Melihat penjelasan tersebut tentu partisipasi politik merupakan rangkaian aktivitas warga negara secara bebas nilai menentukan preferensi pilihan dengan mengambil bagian dalam proses politik (pemilu) Pada dasarnya partisipasi politik warga negara dalam pemilu dapat menjadi sarana dalam mengontrol jalannya pemerintah yang akan terpilih. Dimana warga negara berhak menentukan dan menyerahkan amanahnya kepada calon pemimpin politik yang layak dan dipercaya untuk menjalankan pemerintahan di masa datang.

    Keberadaan Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum juga dituntut bekerja profesional, akuntabel, dan berintegritas tinggi, karena memiliki nilai strategis yang sangat penting. Selain bertugas menyiapkan instrumen hukum untuk menjamin seluruh warga negara menggunakan hak pilihnya. KPU juga dituntut untuk dapat meningkatkan kesadaran politik warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu demi terwujudnya masyarakat yang demokratis. Peran strategis KPU yaitu meningkatkan kesadaran politik warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik. Dengan demikian, diperlukan pelibatan partisipatif dalam menata tatanan politik pemilu khususnya untuk mendorong partisipasi warga negara dalam proses politik (pemilu).

    Oleh karenanya diperlukan penguatan literasi politik agar memahami peran penting warga negara dalam mempengaruhi proses politik. Menurut Westholm literasi politik pada dasarnya adalah kompetensi warga negara yang dibentuk agar warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi.

    Murdoch memandang literasi politik dapat diamati dari beberapa elemen yakni pertama kesadaran pentingnya aktivitas, insitusi politik, kewenangannya, dan perannya; kedua, kemampuan membangun opini (pandangan dan sikap politik) dalam proses politik untuk menghasilkan suatu outcome politik; ketiga, pengetahuan mengenai kebijakan dan perencanan dan pelayanan publik; dan keempat, partisipasi dalam kegiatan politik. Untuk membentuk literasi politik diperlukan edukasi politik. Dengan demikian, sosialisasi politik menjadi kanalisasi literasi politik untuk mendorong kesadaran warga negara dalam proses politik (pemilu). Literasi politik ini pun perlu mencakup tiga unsur dalam upaya mendorong kesadaran politik warga negara yang terdiri kemampuan kognisi, afektif dan evaluatif.

    Unsur kognisi disini mencakup pengetahuan dan keyakinan politik, misalnya mendorong pengetahuan warga negara mengenal rekam jejak dan mengetahui visi – misi bakal calon. Unsur afektif mencakup sikap dan nilai terhadap keadaan atau proses politik, misalnya mendorong warga negara aktif dalam merespons informasi politik terkait dengan kegiatan pemilu. Terakhir unsur evaluatif  merujuk pada sikap moralitas dalam merespon proses politik, misalnya memberikan pemahaman kepada warga negara agar mampu menyaring informasi politik politik untuk menghindari opini dan informasi – informasi yang tidak benar (hoax).

    Pelibatan Partisipatif, Menegakkan Literasi Politik  

    Dalam upaya meningkatkan aktivitas warga negara dalam politik pemilu bukanlah hal yang mudah. KPU sebagai lembaga yang menyelenggaran pemilu tentunya perlu memiliki strategi dalam meningkatkan kesadaran politik warga negara untuk berpartisipasi secara aktif dan sukarela dalam menentukan proses politik. Diperlukan desain strategis untuk meningkatkan kesadaran politik warga negara, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah pemerintahan yang demokratis.

    Dalam upaya memperkuat literasi politik, KPU perlu membentuk dan membangun jejaring partisipatif dengan melibatkan institusi formal maupun informal. Jejaring partisipatif tersebut adalah mereka yang memiliki tautan dengan aktivitas warga negara. Jejaring partisipatif tersebut seperti civil society, kelompok profesional, komunitas masyarakat, institusi pendidikan yang dianggap dapat berperan sebagai agensi yang memberi pemahaman arti pentingnya kesadaran politik. Jejaring inilah yang akan bekerja mengartikulasikan kepentingan umum KPU dalam meningkatkan kesadaran politik warga negara yang mana jejaring ini bekerja menyelenggarakan pendidikan pemilu untuk mendorong aktivitas warga negara dalam meningkatkan partisipasi politik dan kesadaran akan hak politik warga negara. (*)


    Penulis | Aenal Fuad Adam (Staf pengajar FISIP UHO  & aktif di Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia sebagai Koordinator Divisi Pemantauan Regional Provinsi Sulawesi Tenggara )