-
BUMISULTRA
Kasus penganiayaan yang menimpa seorang anak di bawah umur, Mustakim (alias Ahmad), yang terjadi pada 22 Februari 2025 di Desa Ndoke, Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna Barat, kini menimbulkan sorotan tajam dari masyarakat. Ahmad yang berusia di bawah 15 tahun, dilaporkan telah menjadi korban pengeroyokan oleh sekumpulan orang yang diperkirakan berjumlah sekitar 10 orang.
Menurut informasi yang diperoleh, korban diserang dengan kekerasan fisik menggunakan knuckle, yang mengakibatkan gangguan penglihatan pada Ahmad. Hasil visum medis dan keterangan dari saksi-saksi telah diserahkan kepada pihak berwajib sebagai bagian dari laporan yang sudah tercatat di Polsek Sawerigadi, yang berwenang menangani kasus ini.
Namun, meskipun laporan telah masuk sejak tanggal 27 Februari 2025 dan bukti yang cukup lengkap telah diserahkan, hingga saat ini, pelaku yang diduga terlibat dalam penganiayaan tersebut belum juga diamankan oleh pihak kepolisian setempat.
Kondisi Korban
Korban, yang dikenal dengan nama panggilan Ahmad, kini mengalami gangguan penglihatan akibat pukulan menggunakan knuckle. Ini tentu saja menjadi perhatian serius, mengingat Ahmad adalah seorang anak di bawah umur yang berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harapan Pihak Keluarga Korban
Pihak keluarga korban sangat berharap agar aparat kepolisian segera bertindak tegas untuk mengungkap dan menangkap pelaku penganiayaan tersebut. Mereka menuntut keadilan agar korban, yang masih di bawah umur, mendapatkan perlindungan yang seharusnya serta hak-haknya dipenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku. Pihak keluarga juga berharap agar proses hukum dapat berjalan dengan transparan dan cepat, demi memastikan keadilan bagi Ahmad.
Analisis Hukum Kasus:
Tindak Pidana Penganiayaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014), penganiayaan terhadap anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang sangat serius. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan fisik terhadap anak dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
Pengeroyokan
Selain itu, jika penganiayaan ini melibatkan lebih dari satu orang, maka pelaku dapat dikenakan pasal pengeroyokan, yaitu Pasal 170 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang mengatur tentang ancaman pidana bagi orang yang secara bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Pelaku bisa dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun, atau lebih tergantung pada tingkat keseriusan penganiayaan yang dilakukan.
Perlindungan Anak
Dalam kasus ini, korban yang merupakan anak di bawah umur (di bawah 15 tahun) memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara dan aparat penegak hukum. Perlindungan ini tidak hanya berupa tindakan hukum terhadap pelaku, tetapi juga pemenuhan hak-hak korban dalam hal perawatan medis dan pemulihan psikologis.
Kewajiban Polisi
Berdasarkan kewajiban polisi dalam penegakan hukum, mereka harus segera mengambil tindakan terhadap pelaku yang belum diamankan. Dalam hal ini, polisi harus melakukan penyelidikan lebih lanjut, termasuk penangkapan terhadap pelaku. Lambannya tindakan kepolisian dapat merugikan hak-hak korban, termasuk upaya pemulihan fisik dan mental yang diperlukan.
Keterlambatan Penanganan Kasus
Keterlambatan dalam penanganan kasus ini dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Hal ini perlu menjadi perhatian pihak kepolisian untuk lebih cepat menindaklanjuti laporan yang telah masuk dan melakukan penyelidikan yang transparan.
Saran:
Mengingat pentingnya penyelesaian kasus ini dengan cepat dan tegas, diharapkan aparat kepolisian segera melakukan langkah-langkah penyelidikan dan penangkapan pelaku. Selain itu, pihak keluarga dan korban harus mendapatkan pendampingan dari lembaga perlindungan anak untuk memastikan hak-hak korban dipenuhi, dan keadilan dapat ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku. (*)
Penulis : Rian Wizky, Anggota Secret Pam Matakidi