• Sains dan Islam : Harmoni atau Pertentangan?

image_title
Ket: Ilustrasi
  • Share

    BUMISULTRA

    ASN di Sekretariat Pemda Wakatobi & Koordinator Sahabat Rizky Irmansyah (SRI) wakatobi Sultra.

    Sains dan Islam sering kali dipandang sebagai dua entitas yang bertentangan. Namun, jika kita menelaah sejarah dan prinsip-prinsip epistemologi Islam, kita akan menemukan bahwa keduanya sebenarnya memiliki hubungan yang erat dan saling melengkapi. Dalam sejarah peradaban Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat, terutama pada masa keemasan Islam antara abad ke-8 hingga ke-14. Para ilmuwan Muslim seperti Al-Khwarizmi, Ibn Sina, dan Al-Haytham memberikan kontribusi besar bagi sains dunia. Mereka tidak hanya menerjemahkan teks-teks Yunani dan Romawi, tetapi juga mengembangkan teori-teori baru dalam matematika,

    kedokteran, astronomi, dan fisika. Peradaban Islam kala itu menjadikan Al-Qur'an sebagai inspirasi utama dalam pencarian ilmu pengetahuan. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, "Iqra’" (Bacalah!) (QS. Al-‘Alaq: 1), menjadi dorongan kuat bagi umat Islam untuk menuntut ilmu dan melakukan riset ilmiah.

    Beberapa prinsip dalam Islam sangat mendukung perkembangan sains. Pertama, konsep tauhid dalam Islam, yang menyatakan bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah yang memiliki keteraturan, sangat sejalan dengan metode ilmiah yang mencari hukum-hukum alam yang tetap dan dapat diuji. Kedua, Al-Qur'an sering mengajak umat manusia untuk berpikir dan mengamati alam sebagai tanda kekuasaan Tuhan, seperti yang tercantum dalam ayat "Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan?" (QS. Al-Ghasyiyah: 17) dan "Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia" (QS. Al-Hadid: 25).

    Ayat-ayat ini menunjukkan bagaimana Islam mendorong eksplorasi ilmiah terhadap fenomena alam. Selain itu, dalam Islam, menuntut ilmu dianggap sebagai bentuk ibadah, dengan hadis Rasulullah yang mengatakan, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim" (HR. Ibnu Majah), menjadikan ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai alat untuk memahami dunia, tetapi juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Tuhan.

    Ketika berbicara tentang hubungan antara Islam dan sains, peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW memiliki signifikansi yang mendalam. Dalam peristiwa yang luar biasa ini, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malam dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Isra') dan kemudian naik ke langit (Mi'raj), yang menunjukkan kedalaman pengetahuan tentang alam semesta yang hanya dapat dipahami dengan bukti ilmiah modern. Perjalanan tersebut tidak hanya sebagai peristiwa spiritual, tetapi juga membuka cakrawala umat manusia untuk memahami dimensi lain dari kehidupan yang mungkin belum bisa dijangkau oleh ilmu pengetahuan pada masa itu.

    Perjalanan Nabi Muhammad SAW ke langit juga dapat dilihat sebagai simbol dari pencapaian ilmu pengetahuan yang terus berkembang dan menemukan realitas yang lebih tinggi, sesuatu yang sejalan dengan perkembangan riset ilmiah masa kini. Dalam konteks ini, perjalanan Nabi Muhammad dapat dipahami sebagai ajakan untuk terus menggali ilmu dan pengetahuan, baik dalam ranah fisik maupun spiritual, yang pada akhirnya akan semakin mendekatkan umat manusia kepada pencipta-Nya.

    Meski hubungan antara Islam dan sains tampaknya harmonis, ada tantangan yang dihadapi dunia Islam modern, seperti kurangnya investasi dalam riset dan rendahnya tingkat literasi sains di beberapa negara Muslim. Untuk kembali menghidupkan kejayaan ilmu pengetahuan, umat Islam perlu menghidupkan kembali budaya ilmiah seperti yang dilakukan oleh ilmuwan Muslim terdahulu, meningkatkan pendidikan berbasis sains dan teknologi, serta mendorong integrasi ilmu sains dengan nilai-nilai Islam agar tidak terjadi dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan.

    Islam dan sains bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua aspek yang saling mendukung. Islam mendorong pencarian ilmu sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan dan untuk kemaslahatan umat manusia.

    Peristiwa Isra' Mi'raj mengingatkan kita bahwa pencarian ilmu itu tidak terbatas pada apa yang bisa dipahami oleh panca indera manusia, tetapi juga melibatkan pemahaman tentang dimensi spiritual dan alam semesta yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam kembali menghidupkan tradisi keilmuan dan berkontribusi dalam kemajuan sains modern. (*)

    Penulis : Ahmadi, ASN di Pemda Wakatobi

     


    Penulis | Nana