• Diskriminasi Bantuan Pangan Kelurahan Rukuwa Akibat Terindikasi Berbeda Pilihan

image_title
Ket: Keluarga Besar Gerakan Perubahan Pemuda Mahasiswa Cia-Cia Binongko (GEPPMACIB) Kendari
  • Share

    BUMISULTRA

    Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya adalah pesta demokrasi, saat masyarakat bersuka cita menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin masa depan. Tak terkecuali Kabupaten Wakatobi. Momentum ini menjadi simbol harapan akan perubahan, terlebih bagi mereka yang menggantungkan cita pada janji-janji perbaikan. Namun, idealisme Pilkada sebagai ruang aspirasi bebas sering kali ternoda oleh praktik-praktik manipulatif yang menciderai nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.

    Pasca Pilkada 27 November 2024, harapan masyarakat Kelurahan Rukuwa, Kecamatan Binongko, menjadi buram akibat dugaan diskriminasi dalam penyaluran bantuan pangan. Sebanyak 254 Kepala Keluarga (KK) yang seharusnya menerima beras 10 kilogram untuk Desember 2024 justru dirugikan akibat manipulasi data oleh oknum kelurahan. Ironisnya, politisasi bantuan sosial ini diduga kuat bermotif perbedaan pilihan politik pada Pilkada. Alih-alih menjadi simbol keadilan sosial, bantuan pemerintah berubah menjadi alat represi politik terhadap masyarakat kecil.

    Manipulasi data yang dilakukan oleh aparat kelurahan bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengoyak jalinan sosial masyarakat Rukuwa. Bagi masyarakat kecil, bantuan pangan adalah kebutuhan pokok yang tidak hanya bernilai material, tetapi juga simbol kepedulian pemerintah terhadap warganya. Ketika bantuan tersebut digunakan sebagai alat diskriminasi politik, luka yang ditimbulkan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

    Lebih jauh, tindakan diskriminasi ini mencerminkan wajah gelap Pilkada di tingkat lokal. Di wilayah kecil seperti Binongko, perbedaan warna politik yang seharusnya menjadi kekayaan demokrasi malah menjadi pemicu konflik horizontal. Alih-alih mengutamakan kepentingan masyarakat, Pilkada berubah menjadi ajang mencari muka dan keuntungan pribadi bagi segelintir pihak yang memanfaatkan posisi strategis mereka.

    Pasca Pilkada harusnya menjadi waktu untuk merajut kembali persatuan, bukan memperdalam perpecahan. Sayangnya, tindakan manipulasi dan diskriminasi ini mengkhianati semangat rekonsiliasi. Pemerintah daerah harus mengambil langkah tegas untuk mengusut dugaan politisasi bantuan ini, sebab membiarkannya hanya akan memperkuat budaya politik yang kotor.

    Secara hukum, tindakan diskriminasi dalam penyaluran bantuan sosial bertentangan dengan prinsip negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.” Diskriminasi yang dilakukan dengan memanipulasi data penerima bantuan juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa distribusi bantuan sosial harus dilaksanakan secara adil, transparan, dan akuntabel.

    Tak hanya itu, tindakan manipulasi data dalam penyaluran bantuan sosial bisa masuk kategori pemalsuan dokumen sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemalsuan dokumen diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang dimaksud sebagai bukti tentang sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.”

    Kami dari segenap Keluarga Besar Gerakan Perubahan Pemuda Mahasiswa Cia-Cia Binongko (GEPPMACIB) Kendari menghimbau agar demokrasi bukan sekadar mekanisme memilih pemimpin, tetapi sebuah komitmen untuk menjunjung tinggi keadilan dan persamaan hak.

    Pilkada di Wakatobi harus menjadi pelajaran bahwa politik diskriminatif hanya akan melahirkan masyarakat yang terpecah dan kehilangan kepercayaan pada sistem. Masyarakat Rukuwa dan seluruh elemen bangsa harus bersatu untuk menuntut keadilan, karena hanya dengan menegakkan keadilan, demokrasi yang bermartabat dapat terwujud.

    Kami juga menghimbau agar Pesta demokrasi adalah tentang persatuan dalam keberagaman, bukan tentang penguasaan atas perbedaan. Kini, saatnya kita menjadikan luka ini sebagai pelajaran untuk memperbaiki tatanan sosial dan hukum, demi masa depan Binongko yang lebih adil dan sejahtera. (*)

    Penulis : Yustamin La Ode

     

     


    Penulis | Nana