-
BUMISULTRA
Kasus yang menimpa Ibu Supriyani, seorang guru honorer yang dituduh melakukan kekerasan terhadap seorang siswa, telah menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat mengenai apakah seorang guru dapat dipidana dalam menjalankan tugas pendidikan. Banyak yang bertanya-tanya, apakah tindakan disiplin yang dilakukan oleh seorang guru di lingkungan sekolah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, atau apakah guru memiliki perlindungan hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik?
Dalam konteks hukum Indonesia, sangat penting untuk memahami bahwa tugas seorang guru dalam mendidik dan membentuk karakter anak bangsa dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu, tindakan disiplin yang dilakukan oleh seorang guru dalam batas yang wajar seharusnya tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana.
Perlindungan Hukum bagi Guru dalam Menjalankan Tugasnya
Peran guru sebagai pendidik diakui dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan tegas menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru memiliki kebebasan untuk memberikan hukuman disiplin kepada peserta didik yang melanggar peraturan sekolah. Selanjutnya Pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam menjalankan tugas profesionalitasnya yang meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Undang-undang tersebut mengakui bahwa dalam koridor tugas mendidik, seorang guru perlu memberikan tindakan disiplin kepada siswa sebagai bagian dari proses pembentukan karakter dan moral mereka. Hal itu merupakan tugas yang integral dalam menjalankan fungsi pendidikan. Dengan demikian, apabila tindakan yang dilakukan oleh seorang guru masih dalam kerangka disiplin dan mendidik, maka tindakan tersebut tidak dapat serta merta dianggap sebagai tindak pidana.
Tindakan disiplin yang dilakukan oleh seorang guru (misalnya menegur, menjewer, atau memberikan hukuman dalam batas kewajaran) adalah bagian dari metode pendidikan yang sah dan diakui oleh hukum, selama tidak melampaui batas yang wajar. Batas kewajaran ini tentunya harus diukur berdasarkan kondisi faktual di lapangan, dan sejauh mana tindakan tersebut benar-benar bertujuan mendidik dan bukan merupakan tindakan kekerasan.
Perlu Pengecualian dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
Salah satu alasan mengapa guru seringkali berhadapan dengan risiko hukum adalah karena adanya penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini melarang keras segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis, dan secara tegas mengancam hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya.
Namun, perlu diingat bahwa undang-undang itu harus dibaca dalam konteks yang tepat. Tindakan seorang guru yang bertujuan untuk mendisiplinkan siswa dalam proses pembelajaran seharusnya tidak dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak, selama dilakukan dengan batas wajar dan proporsional. Guru bukanlah pelaku kekerasan dalam konteks kriminal, tetapi pelaksana tanggung jawab pendidikan.
Dalam praktiknya, tidak semua bentuk tindakan disiplin oleh guru dapat dianggap sebagai kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai tindakan yang melanggar hak-hak anak secara fundamental, seperti menyakiti atau mencelakai secara fisik atau mental dengan niat buruk. Sedangkan tindakan seorang guru yang bertujuan mendidik, seperti memberikan peringatan keras atau tindakan korektif dalam bentuk teguran fisik ringan, tidak serta-merta termasuk dalam kategori kekerasan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Penggunaan force dalam pendidikan harus dipandang dari perspektif kepentingan pendidikan, bukan kriminalisasi.
Asas Legalitas dan Penafsiran Tindak Pidana dalam Konteks Pendidikan
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ada undang-undang yang secara tegas menyebutkan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana (nullum crimen sine lege). Dalam konteks seorang guru, tindak pidana seperti penganiayaan (Pasal 351 KUHP) atau kekerasan terhadap anak (UU Perlindungan Anak) harus dipahami dengan memperhatikan bahwa tindakan yang dilakukan dalam rangka mendisiplinkan siswa tidak secara otomatis memenuhi unsur-unsur tindak pidana tersebut.
Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, misalnya, mengandung unsur niat untuk menyakiti secara fisik. Namun, dalam konteks pendidikan, tindakan seorang guru yang bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada siswa tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan, selama tindakan tersebut tidak melampaui batas kewajaran.
Pengadilan harus memeriksa niat atau mens rea dari tindakan yang dilakukan oleh guru tersebut. Jika tindakan itu dilakukan dalam rangka mendisiplinkan siswa dan bukan dengan niat untuk menyakiti atau mencelakai, maka unsur penganiayaan dalam pasal tersebut tidak terpenuhi. Mestinya ini menjadi aspek penting yang harus diperhatikan oleh aparat penegak hukum ketika menangani kasus yang melibatkan guru dalam proses pendidikan.
Yurisprudensi Kasus-Kasus yang Melibatkan Guru di Indonesia
Dalam beberapa kasus di Indonesia, pengadilan telah menunjukkan sikap yang lebih bijaksana terhadap guru yang menjalankan tugasnya. Beberapa yurisprudensi menunjukkan bahwa hakim cenderung memutus bebas guru yang didakwa melakukan kekerasan, dengan pertimbangan bahwa tindakan yang dilakukan masih dalam koridor tugas mendidik. Misalkan saja Putusan Mahkamah Agung Nomor 2024 K/PID.SUS/2009 yang jelas dalam poin pertimbangan menegaskan bahwa tindakan terdakwa (guru) terhadap siswa dilakukan dalam batas kewajaran seorang pendidik. Dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan tersebut bukanlah tindakan kekejaman, melainkan bagian dari tugas guru dalam mendidik muridnya.
Pun dalam Putusan Nomor 1554 K/PID/2013, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh terdakwa sudah menjadi tugasnya sebagai seorang guru dan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Perbuatan tersebut bertujuan untuk mendisiplinkan siswa dan mendidik mereka menjadi murid yang baik.
Hakim dalam kasus-kasus seperti di atas biasanya mempertimbangkan peran sosial guru, niat mendidik yang melandasi tindakan tersebut, dan apakah tindakan tersebut sejalan dengan fungsi pendidikan. Tindakan mempidanakan guru karena menjalankan fungsinya sebagai pendidik tidak hanya menimbulkan kerugian bagi individu guru tersebut, tetapi juga dapat mengganggu sistem pendidikan secara keseluruhan. Jika guru selalu dihadapkan pada risiko pidana dalam setiap tindakan disiplin yang mereka lakukan, maka kemampuan mereka untuk mendidik secara efektif akan terganggu yang pada akhirnya akan merugikan siswa dan sistem pendidikan itu sendiri.
Guru Tidak Dapat Dipidana dalam Menjalankan Tugas Pendidikan
Dengan mempertimbangkan landasan hukum serta yurisprudensi yang ada, dapat disimpulkan bahwa guru yang menjalankan tugasnya dalam mendisiplinkan siswa dengan cara yang wajar dan proporsional tidak dapat dipidana. Guru memiliki perlindungan hukum yang diakui dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, dan tindakan disiplin yang dilakukan dalam konteks pendidikan tidak dapat serta-merta dianggap sebagai kekerasan atau tindak pidana.
Kriminalisasi terhadap guru hanya akan melemahkan sistem pendidikan dan mengganggu hubungan antara guru dan siswa. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, termasuk hakim, perlu bijaksana dalam memutus perkara yang melibatkan guru. Dalam kasus Ibu Supriyani, misalnya, penulis berharap agar pengadilan dapat memutus dengan mempertimbangkan bahwa tindakan yang dilakukan adalah bagian dari upaya mendidik, bukan tindakan kriminal, sehingga hukuman yang dijatuhkan, jika ada, haruslah seringan-ringannya, atau bahkan membebaskannya dari segala tuntutan pidana.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, dan guru adalah garda terdepan yang perlu dilindungi dan didukung dalam menjalankan tugas mulia mereka. (*)
Penulis : Mahasiswa Fakultas Hukum UHO, Muhammad Hakim Rianta