• APH di Negeri Dagelan: Cepat dalam Kasus Sepele, Lamban dalam Kasus Besar

image_title
Ket: Muhammad Hakim Rianta
  • Share

    BUMISULTRA

    Selamat datang di negeri penuh dagelan, tempat penegakan hukum berjalan bak opera komedi. Di sini, kasus kecil yang seharusnya bisa selesai dengan secangkir teh dan sedikit logika, malah disulap jadi drama hukum serius. Sementara itu, kasus-kasus besar yang melibatkan triliunan rupiah, para elite, dan pejabat terhormat? Oh, jangan khawatir, itu nanti saja, sabar, toh yang dirugikan cuma rakyat.

    Contoh paling segar datang dari Sulawesi Tenggara. Seorang guru honorer, Ibu Supriyani, ditahan gara-gara katanya memukul murid. Oh, tapi tunggu dulu, ternyata cuma goresan kecil di paha akibat teguran biasa. Tapi ya sudahlah, di negeri ini, lebih baik buru-buru menangkap guru yang tegur murid, daripada repot-repot mengurus koruptor yang menjarah uang negara, bukan begitu?

    Ibu Supriyani datang ke Polda dengan niat baik untuk memberikan keterangan, mengira kasusnya cuma salah paham. Tapi ternyata, surprise! Langsung ditahan, suaminya disuruh pulang, dan biarkan anak kecilnya bingung menunggu di rumah. Hebat sekali, bukan?

    Penegak hukum kita benar-benar bisa bekerja secepat kilat kalau urusannya soal guru honorer. Tapi kalau urusannya korupsi miliaran rupiah, eh maaf, ada berkas yang kurang lengkap. Prosesnya? Entah kapan, mungkin tahun depan. Atau dua dekade lagi.

    Yang lebih menarik, orang tua siswa ini seorang polisi. Jadi, ketika guru datang dengan kepala sekolah meminta maaf, sepertinya cerita belum selesai. Maaf diterima, tapi diam-diam kasus diproses. Gampang sekali menarik kesimpulan, ya. Apakah di negeri ini, menjadi penegak hukum berarti bebas menggunakan kuasa untuk masalah pribadi? Siapa yang tahu. Yang jelas, permintaan uang 50 juta rupiah yang katanya disodorkan oleh pihak orang tua siswa tidak terlalu jadi soal bagi aparat, toh itu urusan “damai.”

    Dan lihatlah, guru honorer yang sudah minta maaf, bahkan rela mendatangi rumah siswa untuk menyelesaikan masalah, akhirnya bakal berakhir di balik jeruji. Sementara kasus-kasus yang melibatkan korupsi besar atau skandal keuangan publik terkesan diperlama. Seolah-olah hukum di negeri ini bisa dipercepat kalau pelakunya rakyat kecil, tapi kalau melibatkan elite? Ah, mari kita nikmati dulu prosesnya, perlahan-lahan, biarkan publik lupa.

    Negeri ini memang ajaib. Penegakan hukum yang lamban ketika rakyat menuntut keadilan dalam kasus besar, tiba-tiba bisa berjalan dengan kecepatan luar biasa ketika berhadapan dengan mereka yang tidak punya kuasa. Apakah rakyat biasa seperti Ibu Supriyani bisa mendapatkan keadilan? Mungkin kalau dia punya kenalan pejabat, atau minimal orang tuanya polisi, ceritanya akan berbeda. Tapi tidak, dia cuma guru honorer, jadi penegak hukum harus menunjukkan ketegasannya, biar terlihat “bekerja.”

    Di sisi lain, kasus korupsi besar, penyelewengan kekuasaan, atau pelanggaran hak asasi manusia masih menggantung tak tentu arah. Berapa banyak koruptor yang masih bisa senyum-senyum di depan kamera, menikmati hidup bebas sambil menunggu hukuman yang entah kapan akan turun? Jangan tanya soal itu, karena kita sedang sibuk dengan kasus guru yang, katanya, ‘melukai’ anak dengan jeweran kecil.

    Mungkin ini saatnya kita semua belajar bahwa di negeri ini, prioritas penegakan hukum adalah soal siapa yang punya kuasa, bukan soal siapa yang bersalah. Kalau Anda orang biasa, jangan harap prosesnya akan lama, Anda bisa langsung ‘dihukum’ dengan cepat. Tapi kalau Anda bagian dari lingkaran kekuasaan? Tenang, hukum bisa sangat sabar menunggu Anda.

    Selamat datang di negeri dagelan, di mana hukum bergerak cepat untuk kasus sepele, tapi sangat pelan, bahkan mungkin berhenti, ketika menghadapi kasus besar. Dan kita? Hanya bisa menonton sambil tertawa pahit. (*)

    Penulis : Mahasiswa Mahasiswa Fakultas Hukum UHO, M Hakim Rianta


    Penulis | redaksi