• Anomali Praktik Ketatanegaraan-DPR RI Harus Kuliah atau Kuliah Lagi

image_title
Ket: Ketua Pusat Kajian Konstitusi FH UHO, Darmono
  • Share

    BUMISULTRA

    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah merevisi Peraturan DPR No 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib (Tatib). Dalam revisi yang telah disepakati tersebut DPR RI menambahkan beberapa poin baru dan poin yang ditambahkan menjadi kontroversial dalam praktik ketatanegaraan poin paling kontroversial yang dimaksud yaitu pasal 228A.

    Pasal 228A

    (1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 Ayat (2) DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

    (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

    Dengan adanya revisi tatib tersebut diatas sejumlah pejabat yang telah ditetapkan DPR RI melalui rapat paripurna dapat dievaluasi kinerjanya secara berkala. Maka secara mutatis mutandis DPR RI kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR RI.

    Pejabat-pejabat yang dapat diawasi dan dievaluasi secara berkala tersebut antara lain; Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Mahkamah Agung (MA), Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Dari hasil revisi tatib tersebut dapat berimplikasi pada kesemrawutan praktik ketatanegaraan, sebab bagaimana bisa DPR RI dapat mengawasi dan bahkan mencopot hakim MK, hakim MA, serta Komisioner KPK dengan dasar yang bersumber dari tatib.

    Sementara sifat dari tatib harusnya mengikat Kedalam bukannya Keluar, inilah pentingnya bagi DPR RI untuk lebih mendalami konsep hierarki Peraturan Perundang-undangan (PUU), sebab darimana logikanya peraturan yang harusnya mengikat kedalam (internal) lembaga tertentu dijadikan sebagai acuan untuk memberhentikan struktur tertinggi lembaga lain (berlaku keluar (eksternal))?

    Harus diketahui pula bahwa sumber Wewenang pejabat negara terutama yang diperoleh secara atributif baik yang bersifat terikat, fakultatif, ataupun bebas  mestinya bersumber dari UU sebagai aturan dasarnya.

    Sementara pada pasal 228A ayat (2) Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2020 Tentang tatib setelah revisi menegaskan bahwa "Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat" yang artinya DPR RI telah membuat satu tatib yang dapat mengikat keluar ( eksternal) layaknya UU. 

    Hal tersebut menggambarkan bahwa DPR RI belum mampu memahami konsep dasar dalam hierarki PUU, serta telah memperlihatkan kekalutan dari pemahaman hukumnya. Lebih Lanjut, selain berkenaan dengan penyimpangan konsep hierarki PUU, tatib yang disahkan DPR RI juga saya pandang sebagai suatu bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan semangat reformasi. 

    Lagi pula dengan wewenang baru DPR RI yang dapat mengawasi dan mencopot hakim MK, hakim MA dan Komisioner KPK berdasarkan peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 Tentang Tatib saya pandang sebagai tindakan yang dapat merusak sistem hukum nasional, sebab aturan dasar yang berkenaan dengan tugas, fungsi sampai dengan kewenangan dalam hal ini UU No. 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)  tidak memberikan penjabatan secara eksplisit bagi DPR RI untuk mengawasi hakim, justru dari adanya tatib tersebut dapat mengganggu independensi hakim dalam hal memeriksa, mengadili dan memutus perkara.

    Lebih jauh lagi, peraturan tersebut juga menggambarkan bahwa DPR RI dalam menjalankan tugas dibidang legislasi tidak disertai dengan pertimbangan yang matang serta kompetensi yang mumpuni. Jika merujuk pada konsep pembagian kekuasaan (distribusion/division of power) pada umumnya dimana dalam pemerintahan terdapat tiga lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat (neben), yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan masing-masing lembaga negara tersebut dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya harus berjalan secara seimbang dan saling mengendalikan, hal tersebut dimaksudkan untuk menjunjung tinggi prinsip (chack and balances).

    Artinya tidak boleh ada satupun lembaga negara yang mendominasi kekuasaan, tentunya hal tersebut untuk mencegah terjadinya abuse of power, pun agar tetap menyesuaikan dengan doktrin konstitusionalisme yaitu pembatasan kekuasaan untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). 

    Namun sepertinya hal-hal tersebut tidak dijiwai dalam peraturan PDR RI, bahkan saya dengan tegas menyatakan bahwa praktik demikian semakin jauh melenceng dengan konsep ketatanegaraan, parahnya pengawasan tersebut dimuat dalam peraturan yang derajatnya lebih rendah dibandingkan UU. Jika menilik secara politis maka secara literalhy  kita akan menemukan fakta bahwa peraturan tersebut dibuat untuk menjadikan DPR RI sebagai pemegang kekuasaan absolut dalam suatu negara,  harus diingat pula bahwa putusan yang dihasilkan oleh hakim, terurama hakim MK bersifat final. Maka akan sangat berbahaya jika putusan tersebut lahir dari intervensi lembaga lain.

    Saran saya DPR RI mestinya mengikuti kembali pendidikan di perguruan tinggi terutama mata kuliah hukum semester tiga, mulai dari hukum tata negara, hukum konstitusi, dan sampai dengan hukum administrasi negara, atau bagi yang tidak pernah berkuliah sama sekali silahkan mundur dari jabatan wakil rakyat lalu mengembangkan diri terlebih dahulu di perguruan tinggi.

    Mari tetap menjadi pemerhati hukum dengan "Bersatu dalam melodi dan abadi dalam bumi lirerasi"
    Sekian!
    Salam konstitusi


    Penulis | Nana












































VIDEO