• Wacana Revisi UU Minerba: Disparitas Tujuan Pendidikan dan Disharmonisasi Peraturan Pendidikan

image_title
Ket: Ketua Pusat Kajian Konstitusi FH-UHO, Darmono
  • Share

    BUMISULTRA

    Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan adanya wacana Revisi Undang-undang (RUU) Mineral dan batu Bara (Minerba) yang memberikan kesempatan pada perguruan tinggi untuk mengelolah sektor pertambangan sebagai alternatif yang membantu finansial perguruan tinggi, lebih spesifik untuk membantu mahasiswa dalam hal pembayaran biaya pendidikan.

    Hal tersebut tentu perlu diperhatikan lebih serius oleh pemerintah dalam hal ini legislatif sebagai pembuat peraturan (regeling), dan eksekutif sebagai pelaksana dari peraturan melaui kebijakan yang dikeluarkan (beleid) dan keputusan yang dibuat (beschikking). 

    Peraturan yang dibuat benar-benar harus memperhatikan segala dampak yang secara potensial dapat terjadi, mulai dari dampaknya disektor pertambangan ataupun disektor pendidikan itu sendiri. Sektor pendidikan adalah salah-satu instrumen paling mendasar dalam hal pengembangan sumber daya manusia suatu negara, maka sudah sepantasnya fokus perguruan tinggi tetap pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai cita dari Negara yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).

    Sangat disayangkan jika penyelenggara negara melalui RUU Minerba mencoba mengalihkan fokus perguruan tinggi, hal tersebut tentunya harus ditolak mentah-mentah karena memberikan gab tercapainya tujuan negara. Selain daripada itu RUU Minerba juga tidak memberikan relevansi  secara implisit dengan tujuan pendidikan nasional.

    Jika merujuk pada Tujuan pendidikan nasional menurut Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan berilmu. 

    Tentunya dari tujuan pendidikan nasional tersebut tidak termanifestasi dengan diberikannya kesempatan bagi perguruan tinggi untuk mengelolah sektor pertambangan, Keterlibatan langsung dalam pengelolaan tambang justru dapat menimbulkan dilema dalam menjalankan peran utama perguruan tinggi.

    Apakah perguruan tinggi akan tetap mampu menjalankan Tridharma yaitu; pendidikan, penelitian dan pengabdian dengan optimal jika beban pengelolaan tambang juga harus diemban?

    Berkenaan dengan hal tersebut, pemberian Izin bagi perguruan tinggi untuk mengelolah pertambangan juga dapat menimbulkan resiko dari berbagai aspek, mulai dari aspek teknis, hukum, dan bahkan sampai pada aspek pendidikan itu sendiri. 

    Aspek Teknis

    Belum ada jaminan pasti yang diberikan kepada perguruan tinggi untuk dapat mengelolah pertambangan dengan maksimal tanpa mengesampingkan nilai pendidikan. Lagi pula perguruan tinggi dapat mengoptimalkan pemajuan Sumber daya manusia melalui riset yang dilakukan dalam proses penelitian tanpa harus mengelolah pertambangan.

    Jika menilik kembali nilai historis banyaknya tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kasus korupsi, maka harusnya diberikan pengaturan yang jelas dan tegas bagi perguruan tinggi itu sendiri agar tetap melaksanakan tugas, fungsi dan kewajibannya secara tertib (order). Maka apa yang menjadi jaminan jika perguruan tinggi tetap akan melaksanakan tugas, fungsi,  kewajibannya secara tertib dan taat hukum jika diberi kesempatan mengelolah pertambangan yang notabenenya adalah mengejar keuntungan?

    Aspek Hukum

    Untuk mengetahui disparitas antara RUU Minerba dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional dapat dilihat dari hal kontoversial yang tertuang dalam poin perubahan RUU Minerba. Yaitu sebagai berikut, "Baleg mengusulkan agar IUP (Izin Usaha Pertambangan) tidak hanya diberikan kepada ormas keagamaan, tetapi juga untuk UMKM dan Perguruan Tinggi". 

    Dari usulan tersebut yang harus ditolak adalah izin untuk perguruan tinggi, karena izin tersebut tidak relvan dengan tujuan daripada perguruan tinggi yang telah saya sebutkan diatas yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak dan berilmu. Tentunya perguruan tinggi akan mengalami kesulitan mewujudkan visi tersebut jika mengemban tanggungjawab baru dalam mengelolah sektor pertambangan.

    Aspek Pendidikan

    Dengan adanya kesempatan mengelolah pertambangan dapat memicu terjadinya disorientasi pada perguruan tinggi, yaitu perguruan tinggi tidak lagi mengejar perkembangan teknologi, ilmu dan pengetahuan, melainkan keuntungan.

    Perguruan tinggi pada dasarnya bertujuan untuk mencetak sumber daya manusia unggul, menghasilkan inovasi melalui penelitian, dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat melalui pengabdian. Harus diingat kembali bahwa fungsi perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, bukan pengelolaan tambang.

    Solusi/Kritisasi

    Dukungan pendanaan langsung untuk pendidikan dan penelitian juga menjadi solusi yang lebih relevan dibandingkan pemberian izin tambang. Untuk mewujudkan visi perguruan tinggi dan cita negara harusnya sektor pertambangan menjadi pelaku yang mendukung pendanaan perguruan tinggi dalam hal mengembangkan teknologi, ilmu dan pengetahuan melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian.

    Sebab dengan dana serta fasilitas yang cukup akan mudah bagi perguruan tinggi memperkuat kualitas pendidikan, meningkatkan mutu penelitian. Hal tersebut saya pandang selaras dengan tujuan pembangunan nasional serta linear dengan doktrin ekasila dari Ir. Soekarno yang menghendaki budaya gotong-royong dalam upaya membangun negara. 

    Dengan dana yang cukup, perguruan tinggi dapat meningkatkan kualitas pendidikan, memperkuat kapasitas penelitian, dan menghasilkan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Langkah ini lebih sesuai dengan misi sosial perguruan tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Dengan demikian sudah sepantasnya sektor pertambangan menjadi fasilitator pengembangan serta pemajuan sumber daya manusia di Indonesia dengan mendanai aspek pendidikan terutama perguruan tinggi, bukan malah memberi izin kepada perguruan tinggi sebagai pelaku usaha pertambangan yang mengejar keuntungan. (*)


    Penulis | Nana