-
BUMISULTRA
Di tengah dinamika pendidikan tinggi di Indonesia, isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi sorotan utama, khususnya bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Akhir-akhir ini viral dan menuai banyak protes kenaikan UKT. Melalui Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menuntut adanya revisi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 2 Tahun2024.
Mendikbudristek Nadiem Makarim akhirnya memutuskan untuk membatalkan kenaikan UKT tahun ini. Namun, meskipun niat awalnya adalah untuk menciptakan keadilan dan kemudahan, dalam praktiknya, kebijakan ini menimbulkan beban finansial yang cukup berat bagi banyak mahasiswa dan keluarganya.
Dari prespektif sosiolog Peter Berger pentingnya memandang stratifikiasi sosial karena boleh jadi dari kebijakan UKTakan menimbulkan ketimpangan. Bagi mahasiswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, besarnya UKT sering kali menjadi tantangan utama dalam melanjutkan pendidikan. Penghasilan keluarga yang terbatas membuat mereka kesulitan untuk membayar UKT yang bisa mencapai jutaan rupiah per semester.
Kondisi ini memaksa banyak mahasiswa untuk bekerja sambilan atau bahkan harus mencari pinjaman, yang pada akhirnya dapat mengganggu konsentrasi dan prestasi akademik mereka. Tak jarang, beberapa keluarga terpaksa harus mengorbankan kebutuhan pokok lainnya demi membiayai pendidikan anak mereka. Ini tentu menjadi dilema yang serius, di mana pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru menjadi beban tambahan.
Lebih parah lagi, tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya memilih untuk berhenti kuliah karena tidak mampu membayar UKT, yang berarti mimpi mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik harus kandas di tengah jalan. Pemerintah dan pihak perguruan tinggi sebenarnya telah berusaha memberikan solusi melalui berbagai program beasiswa dan keringanan UKT. Namun, proses dan persyaratan yang rumit sering kali menjadi kendala tersendiri bagi mahasiswa yang membutuhkan. Sosialisasi yang kurang efektif dan informasi yang tidak merata juga turut memperburuk keadaan, sehingga banyak mahasiswa yang sebenarnya berhak menerima bantuan tetapi tidak mengetahui atau tidak mampu mengaksesnya.
Beberapa hal dari tulisan ini bisa saya kemukakan:Pertama adalah peran sentral nilai IPK dalam menentukan kelayakan penurunan UKT. Mahasiswa dengan IPK yang lebih tinggi cenderung lebih layak menerima bantuan finansial melalui penurunan UKT. Mesti ada komitmen institutisi dan pemda atau lembaga pemberi beasiswa untuk mendukung mahasiswa yang menunjukkan kinerja akademik yang baik, sekaligus memberikan insentif bagi mereka untuk terus berkinerja tinggi. Kedua penghasilan orang tua juga memiliki dampak secara signifikan dalam pengambilan keputusan.
Mahasiswa dari keluarga dengan penghasilan yang lebih rendah memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan penurunan UKT, sehingga membantu mengatasi kendala ekonomi yang mungkin mereka hadapi. Ini adalah langkah progresif dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi kelompok yang lebih rentan . Ketiga jumlah tanggungan orang tua sebagai faktor penting perlu menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.
Mahasiswa yang memiliki lebih banyak tanggungan juga memperoleh perhatian dalam hal kelayakan penurunan UKT, mengingat beban ekonomi yang lebih besar yang mereka tanggung. (Nurizati, Z. dkk., 2024).Dari sini, jelas bahwa perlu ada evaluasi dan penyesuaian kebijakan terkait UKT agar lebih berpihak pada mahasiswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Institusi mesti mengevaluasi secara objektif kriteria-kriteria mempengaruhi kelayakan penurunan UKT.
Dengan proses yang lebih terstruktur dalam menentukan kelayakan penuruanan UKT, mengingat kendala finansial yang yang sering dihadapi oleh sejumlah mahasiswa, sama halnya memberikan mahasiswa peluang terbaik untuk mencapai potensi akademik mereka. Tentu ini akan menjadi kebijakan dan solusi finansial yang lebih baik di masa depan. memberikan kerangka kerja yang jelas dan obyektif dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya menguntungkan mahasiswa dan membantu menciptakan sistem yang lebih adil, transparan, dan efisien dalam menyediakan akses pendidikan tinggi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dukungan dan subsidi pendidikan yang lebih merata berkeadilan dan mudah diakses sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan tinggi Pemerintah, perguruan tinggi, dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk mencari solusi yang berkelanjutan, sehingga pendidikan benar-benar dapat menjadi alat untuk meningkatkan kualitas hidup dan meraih masa depan yang lebih baik bagi semua lapisan masyarakat. (*)
Penulis : Ahmadi, Mengajar ITBM Wakatobi dan Analis Bidang Politik Kesbangpol Wakatobi